Kamis, 17 Juni 2010

For Everything

For everything that I am
For everything that I am not
I choose to be who I am
And there you are

Everything beyond me
Everything below me
I choose not to be
And thus, I am free

For a child that stays inside me
Nothingness is a game
Like a life that ought to be
I care for him like he cares for thee

A lesson well learned
A trust well earned
Only when love got believed
In its true form, peace is formed

Dear God, deep within my heart
Beneath an ocean I will sleep forever
I will become the wind, the flow and the weather
As I become you, no longer apart

Dear child, Dear God, Dear nothing
In your way you teach me the nature of everything
That in dying I found the spirit of living
As I awaken from a long lost path
Every single moment is perfect
And a feeling of losing something is just an illusion
From above, every ending is a beginning
For everything

Percakapan Diri

Aku:
Aku diam
Menyimpan iris-irisan duka
Kamu dan aku
Tanpa makna
Tanpamu
Tanpa hadirmu

Nuraniku:
Sambut aku
Lembutkan dirimu dengan beningku
Aliri darahmu dengan sejukku
Mungkin menenangkanmu

Aku:
Duhai hatiku, peluklah diriku
Terangkan padaku,
Legenda alam semesta
Kebijakan,
Yang kau rangkul beribu tahun

Perlihatkan padaku,
Cerita surga dan neraka
Kejujuran sejati,
Diantara kerlingan bulan dan bintang

Nuraniku:
Ragaku yang dulu perkasa
Maafkan aku, terlalu diam
Biarkanmu larut,
Dalam pedih perih kebutaan dunia

Sungguh ragaku
Telah kau redam segala perih
Dan inilah aku
Selalu terlahir dari kisahmu
Tetap menjadi mutiara
Olahan debu-debu hidupmu

Maka bukalah keras kerang itu
Biarkanlah memancar cahayaku
Beserta kesejatian keindahanmu
Terangi jalanmu
Terangi hidupmu
Terangi Dunia kita

Aku:
Jadilah lenteraku
Kuingin tiap-tiap tetes
Airmataku dan keringatku
Adalah jelmaan
Pancaran kasih sayangmu

Dan tiap perilakuku
Adalah keelokan lekuk tubuhmu

Hatiku, buatlah aku menari
Bersama dendang damai dunia
Yang selalu hampir tak terdengar lagi

Izinkan aku memandang
Kemurnian matamu
Biar kunikmati segala
Kepingan-kepingan nodaku
Atau
Serpihan-serpihan dosaku
Karena tak mungkin ku berpaling

Nuraniku:
Takkanlah kau berpaling
Tapi kegundahan puing-puing kisahmu
Adalah kelahiran,
Dari burung-burung camar
Yang berbagi keluasan angkasa
Dan ikan-ikan terumbu
Yang kagumi keindahan karang
Maka kemarilah dan terlelap
Relakan keabadian,
Menyatukan ketetapan hati kita
Kau dan aku,
Berbaring dalam lembut awan
Tuliskan kisah,
Diantara rasi bintang bintang

As I Fight


As I Fight
Alone in this peaceful darkness
As the my Mistress of Life holding my right hand
And the Lord of Death holding my left hand
I surrender to both
Not knowing where I will end up
Except for the destiny awaits me

It is here
All the things that I have been seeking
All the things I have thought only be permitted to me
At the end, in the after life
Tranquil and silent
At this moment alone
Universe is revealing herself
Unknown beauty in an eternal serenity

Senin, 14 Juni 2010

Ekor Cicak

Beberapa hari lalu, ketika saya baru masuk kamar mandi untuk memulai hari, ada seekor cicak di sudut kamar mandi yang terkaget dan kemudian berlari dengan melepaskan ekornya.  Wahhh, cicak bisa melepaskan ekornya untuk menyelamatkan dirinya!??

Hahaha, lantas, apa yang baru? Bukannya anak kecil juga tahu kalau cicak punya "trick" seperti itu.  Memang iya sih.  Tapi entah kenapa pemandangan itu membuatku berpikir sejenak, seolah teguran atau sentilan jenaka penuh makna dari sang semesta.

Seekor cicak rela melepaskan suatu bagian dari tubuhnya untuk menyelamatkan hal yang lebih penting bagi hidupnya, yaitu nyawanya.  Hal ini membuatku berpikir, seberapa sering aku berani "melepaskan" sesuatu untuk hal yang lebih penting atau lebih berarti bagi hidupku?  Atau aku terbelenggu pada suatu konsep, objek, benda, atau apa pun itu, sehingga aku lupa bahwa aku semestinya lebih berpikir untuk terus "hidup"?

Memang sih, aku gak mungkin melepas atau mengamputasi suatu bagian tubuhku, setidaknya belum perlu dan mudahan tidak akan perlu.  Tidak seperti seseorang yang rela memotong kakinya untuk bisa terus hidup karena tertindih runtuhan gempa, atau seorang pendaki yang rela mematahkan tangannya untuk bisa keluar dari timbunan salju yang menimpanya agar bisa terus bernafas.  Tidak, dan aku berdoa semoga selamanya aku terlindung dari hal-hal seperti itu.

Aku mencoba menelaah semuanya secara luas, bahwa yang namanya HIDUP bagi manusia itu tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat jasmaniah saja, namun juga rohaniah.  Si Cicak itu memang rela melepaskan sesuatu untuk melepaskan dirinya dari marabahaya.  Namun yang perlu diingat bahwa pilihan terbaiknya adalah ekornya.  Tentu saja, tak mungkin dia melepas kakinya, atau bahkan kepalanya. Kemampuannya melepas ekor adalah berkah baginya, namun tetap pilihan yang terbatas.

Manusia mempunyai lebih banyak pilihan untuk melepas suatu keterikatan dalam hidupnya, dan bahkan pilihan-pilihan itu kebanyakan bukanlah melepas suatu bagian tubuh.  Diantara pilihan-pilihan itu ada pekerjaan, kepemilikan atas suatu benda, tempat tinggal, kewarganegaraan, keyakinan, jalan hidup, dan banyak lagi.  Apa bisa kita 'merasa' terikat terhadap hal-hal itu? Ya bisa saja, banyak koq contohnya.  Namun, menurutku, keterikatan terbesar manusia adalah terhadap perasaannya dan pikirannya sendiri yang membuatnya 'merasa hidup'.  Keterikatan terhadap ego.

Kalau mau jujur, dulu pun aku sering bertahan terhadap sesuatu yang membuatku 'merasa hidup', padahal pada saat yang bersamaan aku justru tidak benar-benar hidup.  Misalnya dengan salah satu pekerjaan yang pernah kujalani dulu, memang aku memiliki rasa 'sense of belonging', padahal sebenarnya aku tidak enjoy sama sekali.  Pada saat aku berani melepaskan pekerjaan itu dan berkata bahwa "aku mau menjalani hidup di bidang musik" rasa yang muncul sungguh luar biasa, seolah aku menemukan hidupku lagi dan menjalani hari-hari ini dengan kerelaan untuk bertanggungjawab.  Aku sungguh lega terlepas dari perasaan-perasaan yang berkata "aku ini orang penting", "aku adalah atasan", "aku punya jabatan tinggi", "pendapatanku banyak" dan beratus suapan ego lainnya pada saat hal-hal itu bukanlah yang aku butuhkan. Aku rela untuk menjadi aku dan berusaha dari bawah lagi, namun kali ini aku lebih hidup karena aku menjalani kehidupanku, bukan kehidupan egoku yang selalu ingin terpandang.

Satu lagi contoh dari kehidupanku tentang keterikatan mungkin adalah rasa keterikatan dulu terhadap status jombloku (istriku pasti ketawa kalau baca ini).  Sudah diubek-ubek untuk segera nikah, selalu aja ada alasan  untuk menghindar.  Ya, aku terikat pada pikiran bahwa sebagai jomblo aku bebas, bisa pergi kemana saja dengan siapa saja, senang dengan rasa tanggung jawab yang lebih kecil, hidup tanpa keteraturan.  Lantas, kenapa aku rela melepas itu semua?  Karena pada suatu titik aku benar-benar mengerti dan mengakui secara jujur, bahwa aku mencintai istriku, Tisa, (pada waktu itu belum, masih pacar), dan kerelaanku untuk melepas kebebasan-kebebasan itu untuk sesuatu yang lebih penting dalam hidupku ternyata memberikan aku kehidupan yang membahagiakan, apalagi semenjak dikaruniai si pipi lucu Freiya Nada Sjadzali.  Kebahagiaan yang datang karena kerelaan dan keberanian untuk melepaskan.

Aku sungguh berharap bahwa aku akan terus bisa melepaskan keterikatan yang ada pada diriku, jika memang itu bisa membawaku ke tempat yang lebih baik.  Entah, apa si Cicak pernah mensyukuri bentuk ekornya dengan berkata "ah, ekorku indah sekali", tapi yang pasti, aku tetap mensyukuri hal-hal yang pernah kumiliki dan kulepaskan.  Semuanya indah.  Sang Semesta memang selalu memberikan yang terbaik pada saat yang terbaik, dan seringkali aku harus rela melepas agar hal-hal yang lebih baik itu punya tempat yang cukup dalam hidupku.

Dan kini saatnya untuk bisa melepaskan keinginanku untuk menulis saat ini, sudah panjang kayaknya haha.

Salam dariku untuk kalian dan hal-hal yang membawa kalian kepada kebahagiaan sejati.

Kamis, 10 Juni 2010

Ingin Kembali Menulis

Mungkin memang, membiarkan jari-jari ini menari, menulis semaunya, dan otak mengembara entah kemana.  Satu sisi memikirkan apa isi Twitter, atau Facebook.  Sisi lainnya memikirkan putriku tersayang, Freiya Nada Sjadzali (suatu waktu akan kutulis tentangnya), yang tertidur nyenyak di malam hari, sementara di siang hari selalu mudah terbangun dan menangis atau bercanda.  Baru 3 bulan lho, 3 bulan yang membuatku selalu mensyukuri karunia Allah, makin dan semakin.

Aku pun sebenarnya gak tau mau nulis apa, hanya tiba-tiba ingin menulis kembali.  Banyak puisi-puisi tersimpar rapi di salah satu folder di harddisk yang entah di mana.  Harus kucari satu persatu dan tinggal copy paste saja ke blog ini.  Ya blog ini kan milikku, walaupun gratis, tapi kan tetap saja aku yang berhak untuk menulis apa pun ke dalamnya.  Termasuk puisi-puisi lama itu, yang entah masih kuingat maknanya atau nggak.  Bisa jadi yang kuanggap puisi cinta sebenarnya refleksi diri saja, atau malah kebalikannya.  Tanggalnya sering lupa kucantumkan, ya wajar aja kalo jadi gak inget nuansa sewaktu menulis puisi-puisi itu.

"Uhuk..".. Freiya terbatuk, cek bentar..

Jam segini, 23.30, memang jadwalku jagain Freiya, sementara istriku, Tisa, selalu tertidur selepas Isya.  Capek juga dia, seharian ngurusin anakku itu.  Jangan pernah bilang kalo jadi ibu rumah tangga itu gampang lho.  Melelahkan banget, dan kuhargai istriku itu sepenuh hati, membiarkannya istirahat, walaupun sebenarnya badanku juga capek banget karena seharian ini nyetir ke Sukabumi bolak balik.  Ngapain ke Sukabumi? Ya nyari venue buat event musik.  Selama ini "jualan" band ke event-event sering gak tembus, ya sudahlah, kuputuskan untuk bikin event aja ama temen-temen.

Hahahha... ngelantur banget yah tulisan malam ini, memang ngantuk sih, tapi penasaran juga nonton Masih Dunia Lain yang baru tayang di Trans 7. Kadang bertanya: Bener apa nggak sih?  Tapi kalopun ditantangin ikut ya gak mau.  Ngapain bermalam para makhluk halus, mending main dan ngawasin Freiya yang lucu tertidur.  Sedikit bunyi "clap.. clup.." kalo dia berusaha ngenyot jempolnya.  Lucu juga lho, kadang kayak srimulat, maunya masukin jempol ke mulut malah nyasar ke mata... hahaha.. Anak itu (ah, semakin wajib rasanya aku menulis tentang dia) memang penghibur lara dan penghapus lelahku.

"Ngapain, Pa?" Tiba-tiba istriku terbangun dan bertanya.  "Ngetik-ngetik aja" Jawabku asal.  Haha... rasanya koq masih malu yah mau bilang "Lagi ngisi blog".  Belum terbiasa.  Dan gak kusangka memang asyik menulis lagi tuh (mengetik sih tepatnya).

Besok lanjut lagi ah, sambil ngubek-ngubek tulisan-tulisan lama untuk diposting di sini.

Thank you for reading