Senin, 14 Juni 2010

Ekor Cicak

Beberapa hari lalu, ketika saya baru masuk kamar mandi untuk memulai hari, ada seekor cicak di sudut kamar mandi yang terkaget dan kemudian berlari dengan melepaskan ekornya.  Wahhh, cicak bisa melepaskan ekornya untuk menyelamatkan dirinya!??

Hahaha, lantas, apa yang baru? Bukannya anak kecil juga tahu kalau cicak punya "trick" seperti itu.  Memang iya sih.  Tapi entah kenapa pemandangan itu membuatku berpikir sejenak, seolah teguran atau sentilan jenaka penuh makna dari sang semesta.

Seekor cicak rela melepaskan suatu bagian dari tubuhnya untuk menyelamatkan hal yang lebih penting bagi hidupnya, yaitu nyawanya.  Hal ini membuatku berpikir, seberapa sering aku berani "melepaskan" sesuatu untuk hal yang lebih penting atau lebih berarti bagi hidupku?  Atau aku terbelenggu pada suatu konsep, objek, benda, atau apa pun itu, sehingga aku lupa bahwa aku semestinya lebih berpikir untuk terus "hidup"?

Memang sih, aku gak mungkin melepas atau mengamputasi suatu bagian tubuhku, setidaknya belum perlu dan mudahan tidak akan perlu.  Tidak seperti seseorang yang rela memotong kakinya untuk bisa terus hidup karena tertindih runtuhan gempa, atau seorang pendaki yang rela mematahkan tangannya untuk bisa keluar dari timbunan salju yang menimpanya agar bisa terus bernafas.  Tidak, dan aku berdoa semoga selamanya aku terlindung dari hal-hal seperti itu.

Aku mencoba menelaah semuanya secara luas, bahwa yang namanya HIDUP bagi manusia itu tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat jasmaniah saja, namun juga rohaniah.  Si Cicak itu memang rela melepaskan sesuatu untuk melepaskan dirinya dari marabahaya.  Namun yang perlu diingat bahwa pilihan terbaiknya adalah ekornya.  Tentu saja, tak mungkin dia melepas kakinya, atau bahkan kepalanya. Kemampuannya melepas ekor adalah berkah baginya, namun tetap pilihan yang terbatas.

Manusia mempunyai lebih banyak pilihan untuk melepas suatu keterikatan dalam hidupnya, dan bahkan pilihan-pilihan itu kebanyakan bukanlah melepas suatu bagian tubuh.  Diantara pilihan-pilihan itu ada pekerjaan, kepemilikan atas suatu benda, tempat tinggal, kewarganegaraan, keyakinan, jalan hidup, dan banyak lagi.  Apa bisa kita 'merasa' terikat terhadap hal-hal itu? Ya bisa saja, banyak koq contohnya.  Namun, menurutku, keterikatan terbesar manusia adalah terhadap perasaannya dan pikirannya sendiri yang membuatnya 'merasa hidup'.  Keterikatan terhadap ego.

Kalau mau jujur, dulu pun aku sering bertahan terhadap sesuatu yang membuatku 'merasa hidup', padahal pada saat yang bersamaan aku justru tidak benar-benar hidup.  Misalnya dengan salah satu pekerjaan yang pernah kujalani dulu, memang aku memiliki rasa 'sense of belonging', padahal sebenarnya aku tidak enjoy sama sekali.  Pada saat aku berani melepaskan pekerjaan itu dan berkata bahwa "aku mau menjalani hidup di bidang musik" rasa yang muncul sungguh luar biasa, seolah aku menemukan hidupku lagi dan menjalani hari-hari ini dengan kerelaan untuk bertanggungjawab.  Aku sungguh lega terlepas dari perasaan-perasaan yang berkata "aku ini orang penting", "aku adalah atasan", "aku punya jabatan tinggi", "pendapatanku banyak" dan beratus suapan ego lainnya pada saat hal-hal itu bukanlah yang aku butuhkan. Aku rela untuk menjadi aku dan berusaha dari bawah lagi, namun kali ini aku lebih hidup karena aku menjalani kehidupanku, bukan kehidupan egoku yang selalu ingin terpandang.

Satu lagi contoh dari kehidupanku tentang keterikatan mungkin adalah rasa keterikatan dulu terhadap status jombloku (istriku pasti ketawa kalau baca ini).  Sudah diubek-ubek untuk segera nikah, selalu aja ada alasan  untuk menghindar.  Ya, aku terikat pada pikiran bahwa sebagai jomblo aku bebas, bisa pergi kemana saja dengan siapa saja, senang dengan rasa tanggung jawab yang lebih kecil, hidup tanpa keteraturan.  Lantas, kenapa aku rela melepas itu semua?  Karena pada suatu titik aku benar-benar mengerti dan mengakui secara jujur, bahwa aku mencintai istriku, Tisa, (pada waktu itu belum, masih pacar), dan kerelaanku untuk melepas kebebasan-kebebasan itu untuk sesuatu yang lebih penting dalam hidupku ternyata memberikan aku kehidupan yang membahagiakan, apalagi semenjak dikaruniai si pipi lucu Freiya Nada Sjadzali.  Kebahagiaan yang datang karena kerelaan dan keberanian untuk melepaskan.

Aku sungguh berharap bahwa aku akan terus bisa melepaskan keterikatan yang ada pada diriku, jika memang itu bisa membawaku ke tempat yang lebih baik.  Entah, apa si Cicak pernah mensyukuri bentuk ekornya dengan berkata "ah, ekorku indah sekali", tapi yang pasti, aku tetap mensyukuri hal-hal yang pernah kumiliki dan kulepaskan.  Semuanya indah.  Sang Semesta memang selalu memberikan yang terbaik pada saat yang terbaik, dan seringkali aku harus rela melepas agar hal-hal yang lebih baik itu punya tempat yang cukup dalam hidupku.

Dan kini saatnya untuk bisa melepaskan keinginanku untuk menulis saat ini, sudah panjang kayaknya haha.

Salam dariku untuk kalian dan hal-hal yang membawa kalian kepada kebahagiaan sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar